gerbongdewasa168 situs blog yang memberikan sajian cerita dewasa 18+, Cerita Sex Terbaru, Cerita Mesum Terhangat, Cerita Dewasa Ngentot, Foto Bugil Terbaru, Foto Sex Tante, ABG, Memek Secara Terupdate dan selalu baru. Cerita Dewasa Terbaru 2017 - Cerita Sex Terbaru - Cerita Panas Terbaru - Cerita Mesum Terbaru - Foto Bugil Terbaru - Foto Cewek Hot Terbaru - Foto Mesum Terbaru - Cerita Sex Bolos Kuliah Demi Ngentot - dan Seputar Dewasa Terbaru 2017
![]() |
Cerita Dewasa Terbaru Kakak Gebetanku Yang Liar - Selesai sekolah Sabtu itu langsung dilanjutkan rapat pengurus OSIS. Rapat itu dilakukan sebagai persiapan sekaligus pembentukan panitia kecil pemilihan OSIS yang baru.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, pemilihan dimaksudkan sebagai regenerasi dan anak-anak kelas 3 sudah tidak boleh lagi dipilih jadi pengurus, kecuali beberapa orang pengurus inti yang bakalan “naik pangkat” jadi penasihat.
Usai rapat, aku bergegas mau langsung pulang, soalnya sorenya ada acara rutin bulanan yaitu pulang ke rumah ortu di kampung. Belum sempat aku keluar dari pintu ruangan rapat, suara nyaring cewek memanggilku.
“Adit .. “ aku menoleh, ternyata Rahma yang langsung melambai supaya aku mendekat.
“Dit, jangan pulang dulu. Ada sesuatu yang mau aku omongin sama kamu,” kata Rahma setelah aku mendekat.
“Tapi Ma, sore ini aku mau ke kampung. Bisa nggak dapet bis kalau kesorean,” jawabku.
“Cuman sebentar kok Dit. Kamu tunggu dulu ya, aku beresin ini dulu,” Rahma agak memaksaku sambil membenahi catatan-catatan rapat.
Akhirnya aku duduk kembali.
“Dit, kamu pacaran sama Nana ya?” tanya Rahma setelah ruangan sepi, tinggal kami berdua. Aku baru mengerti, Rahma sengaja melama-lamakan membenahi catatan rapat supaya ada kesempatan ngomong berdua denganku.
“Emangnya, ada apa sih?” aku balik bertanya.
“Enggak ada apa-apa sih .. “ Rahma berhenti sejenak.
“Emmm, pengin nanya aja.”
“Enggak kok, aku nggak pacaran sama Nana,” jawabku datar.
“Ah, masa. Temen-temen banyak yang tahu kok, kalau kamu suka jalan bareng sama Nana, sering ke rumah Nana,” kata Rahma lagi.
“Jalan bareng kan nggak berarti pacaran tho,” bantahku.
“Paling juga pakai alasan kuno ‘Cuma temenan’,” Rahma berkata sambil mencibir, sehingga wajahnya kelihatan lucu, yang membuatku ketawa.
“Cowok di mana-mana sama aja, banyak bo’ongnya.”
“Ya terserah kamu sih kalau kamu nganggep aku bohong. Yang jelas, sudah aku bilang bahwa aku nggak pacaran sama Nana.”
Aku sama sekali tidak bohong pada Rahma, karena aku sama Nana memang sudah punya komitmen untuk ‘tidak ada komitmen’. Maksudnya, hubunganku dengan Nana hanya sekedar untuk kesenangan dan kepuasan, tanpa janji atau ikatan di kemudian hari. Hal itu yang kujelaskan seperlunya pada Rahma, tentunya tanpa menyinggung soal ‘seks’ yang jadi menu utama hubunganku dengan Nana.
“Nanti malem, mau nggak kamu ke rumahku?” tanya Nana sambil melangkah keluar ruangan bersamaku.
“Kan udah kubilang tadi, aku mau pulang ke rumah ortu nanti,” jawabku.
“Ke rumah ortu apa ke rumah Nana?” tanya Rahma dengan nada menyelidik dan menggoda.
“Kamu mau percaya atau tidak sih, terserah. Emangnya kenapa sih, kok nyinggung-nyinggung Nana terus?” aku gantian bertanya.
“Enggak kok, nggak kenapa-kenapa,” elak Rahma.
Akhirnya kami jalan bersama sambil ngobrol soal-soal ringan yang lain. Aku dan Rahmapun berpisah di gerbang sekolah. Nana sudah ditunggu sopirnya, sedang aku langsung menuju halte. Sebelum berpisah, aku sempat berjanji untuk main ke rumah Nana lain waktu.
*****
Diam-diam aku merasa geli. Masak malam minggu itu jalan-jalan sama Rahma harus ditemani kakaknya, dan diantar sopir lagi. Jangankan untuk ML, sekedar ciuman pun rasanya hampir mustahil. Sebenarnya aku agak ogah-ogahan jalan-jalan model begitu, tapi rasanya tidak mungkin juga untuk membatalkan begitu saja.
Rupanya aturan orang tua Rahma yang ketat itu, bakalan membuat hubunganku dengan Rahma jadi sekedar roman-romanan saja. Praktis acara pada saat itu hanya jalan-jalan ke Mall dan makan di ‘food court’.
Di tengah rasa bete itu aku coba menghibur diri dengan mencuri-curi pandang pada Mbak Wenny, baik pada saat makan ataupun jalan. Mbak Wenny, adalah kakak sulung Rahma yang kuliah di salah satu perguruan tinggi terkenal di kota ‘Y’. Dia pulang setiap 2 minggu atau sebulan sekali.
Sama sepertiku, hanya beda level. Kalau Mbak Wenny kuliah di ibukota propinsi dan mudik ke kotamadya, sedang aku sekolah di kotamadya mudiknya ke kota kecamatan.
Wajah Mbak Wenny sendiri hanya masuk kategori lumayan. Agak jauh dibandingkan Rahma. Kuperhatikan wajah Mbak Wenny mirip ayahnya sedang Rahma mirip ibunya. Hanya Mbak Wenny ini lumayan tinggi, tidak seperti Rahma yang pendek, meski sama-sama agak gemuk.
Kuperhatikan daya tarik seksual Mbak Wenny ada pada toketnya. Lumayan gede dan kelihatan menantang kalau dilihat dari samping, sehingga rasa-rasanya ingin tanganku menyusup ke balik T-Shirtnya yang longgar itu. Aku jadi ingat Nana. Ah, seandainya tidak aku tidak ke rumah Rahma, pasti aku sudah melayang bareng Nana.
Saat Rahma ke toilet, Mbak Wenny mendekatiku.
“Heh, awas kamu jangan macem-macem sama Rahma!” katanya tiba-tiba sambil memandang tajam padaku.
“Maksud Mbak, apa?” aku bertanya tidak mengerti.
“Rahma itu anak lugu, tapi kamu jangan sekali-kali manfaatin keluguan dia!” katanya lagi.
“Ini ada apa sih Mbak?” aku makin bingung.
“Alah, pura-pura. Dari wajahmu itu kelihatan kalau kamu dari tadi bete,” aku hanya diamsambil merasa heran karena apa yang dikatakan Mbak Wenny itu betul.
“Kamu bete, karena malem ini kamu nggak bisa ngapa-ngapain sama Rahma, ya kan?” aku hanya tersenyum, Mbak Wenny yang tadinya tutur katanya halus dan ramah berubah seperti itu.
“Eh, malah senyam-senyum,” hardiknya sambil melotot.
“Memang nggak boleh senyum. Abisnya Mbak Wenny ini lucu,” kataku.
“Lucu kepalamu,” Mbak Wenny sewot.
“Ya luculah. Kukira Mbak Wenny ini lembut kayak Rahma, ternyata galak juga!” Aku tersenyum menggodanya.
“Ih, senyam-senyum mlulu. Senyummu itu senyum mesum tahu, kayak matamu itu juga mata mesum!” Mbak Wenny makin naik, wajahnya sedikit memerah.
“Mbak cakep deh kalau marah-marah,” makin Mbak Wenny marah, makin menjadi pula aku menggodanya.
“Denger ya, aku nggak lagi bercanda. Kalau kamu berani macem-macem sama adikku, aku bisa bunuh kamu!” kali ini Mbak Wenny nampak benar-benar marah.
Akhirnya kusudahi juga menggodanya melihat Mbak Wenny seperti itu, apalagi pengunjung mall yang lain kadang-kadang menoleh pada kami. Kuceritakan sedikit tentang hubunganku dengan Rahma selama ini, sampai pada acara ‘apel’ pada saat itu.
“Kalau soal pengin ngapa-ngapain, yah, itu sih awalnya memang ada. Tapi, sekarang udah lenyap. Rahma sepertinya bukan cewek yang tepat untuk diajak ngapa-ngapain, dia mah penginnya roman-romanan aja,” kataku mengakhiri penjelasanku.
“Kamu ini ngomongnya terlalu terus-terang ya?” Nada Mbak Wenny sudah mulai normal kembali.
“Ya buat apa ngomong mbulet. Bagiku sih lebih baik begitu,” kataku lagi.
“Tapi .. kenapa tadi sama aku kamu beraninya lirak-lirik aja. Nggak berani terus-terang mandang langsung?”
Aku berpikir sejenak mencerna maksud pertanyaan Mbak Wenny itu. Akhirnya aku mengerti, rupanya Mbak Wenny tahu kalau aku diam-diam sering memperhatikan dia.
“Yah .. masak jalan sama adiknya, Mbak-nya mau diembat juga,” kataku sambil garuk-garuk kepala.
Setelah itu Rahma muncul dan dilanjutkan acara belanja di dept. store di mall itu. Selama menemani kakak beradik itu, aku mulai sering mendekati Mbak Wenny jika kulihat Rahma sibuk memilih-milih pakaian. Aku mulai lancar menggoda Mbak Wenny.
Hampir jam 10 malam kami baru keluar dari mall. Lumayan pegal-pegal kaki ini menemani dua cewek jalan-jalan dan belanja. Sebelum keluar dari mall Mbak Wenny sempat memberiku sobekan kertas, tentu saja tanpa sepengetahuan Rahma.
“Baca di rumah,” bisiknya.
***
Aku lega melihat Mbak Wenny datang ke counter bus PATAS AC seperti yang diberitahukannya lewat sobekan kertas. Kulirik arloji menunjukkan jam setengah 9, berarti Mbak Wenny terlambat setengah jam.
"Sori terlambat. Mesti ngrayu Papa-Mama dulu, sebelum dikasih balik pagi-pagi," Mbak Wenny langsung ngerocos sambil meletakkan hand-bag-nya di kursi di sampingku yang kebetulan kosong. Sementara aku tak berkedip memandanginya.
Mbak Wenny nampak sangat feminin dalam kulot hitam, blouse warna krem, dan kaos yang juga berwarna hitam. Tahu aku pandangi, Mbak Wenny memencet hidungku sambil ngomel-ngomel kecil, dan kami pun tertawa. Hanya sekitar sepuluh menit kami menunggu, sebelum bus berangkat.
Dalam perjalanan di bus, aku tak tahan melihat Mbak Wenny yang merem sambil bersandar. Tanganku pun mulai mengelu-elus tangannya. Mbak Wenny membuka mata, kemudian bangun dari sandarannya dan mendekatkan kepalanya padaku.
“Gimana, Mbaknya mau di-embat juga?” ledeknya sambil berbisik.
“Kan lain jurusan,” aku membela diri.
“Adik-nya jurusan roman-romanan, Mbak-nya jurusan..“ Aku tidak melanjutkan kata-kataku, tangan Mbak Wenny sudah lebih dulu memencet hidungku. Selebihnya kami lebih banyak diam sambil tiduran selama perjalanan.
***
Yang disebut kamar kos oleh Mbak Wenny ternyata sebuah faviliun. Faviliun yang ditinggali Mbak Wenny kecil tapi nampak lux, didukung lingkungannya yang juga perumahan mewah.
“Kok bengong, ayo masuk,” Mbak Wenny mencubit lenganku. “Peraturan di sini cuman satu, dilarang mengganggu tetangga. Jadi, cuek adalah cara paling baik.”
Aku langsung merebahkan tubuhku di karpet ruang depan, sementara setelah meletakkan hand-bag-nya di dekat kakiku, Mbak Wenny langsung menuju kulkas yang sepertinya terus on.
“Nih, minum dulu, habis itu mandi,” kata Mbak Wenny sambil menuangkan air dingin ke dalam gelas.
“Kan tadi udah mandi Mbak,” kataku.
“Ih, jorok. Males aku deket-deket orang jorok,” Mbak Wenny tampak cemberut.
“Kalau gitu, aku duluan mandi,” katanya sambil menyambar hand-bag dan menuju kamar.
Aku lihat Mbak Wenny tidak masuk kamar, tapi hanya membuka pintu dan memasukkan hand-bag-nya. Setelah itu dia berjalan ke belakang ke arah kamar mandi.
“Mbak,” Mbak Wenny berhenti dan menoleh mendengar panggilanku. “Aku mau mandi, tapi bareng ya?”
“Ih, maunya .. “ Mbak Wenny menjawab sambil tersenyum. Melihat itu aku langsung bangkit dan berlari ke arah Mbak Wenny. Langsung kupeluk dia dari belakang tepat di depan pintu kamar mandi.
Kusibakkan rambutnya, kuciumi leher belakangnya, sambil tangan kiriku mengusap-usap pinggulnya yang masih terbungkus kulot. Terdengar desahan Mbak Wenny, sebelum dia memutar badan menghadapku. Kedua tangannya dilingkarkan ke leherku.
“Katanya mau mandi?” setelah berkata itu, lagi-lagi hidungku jadi sasaran, dipencet dan ditariknya sehingga terasa agak panas.
Setelah itu diangkatnya kaosku, dilepaskannya sehingga aku bertelanjang dada. Kemudian tangannya langsung membuka kancing dan retsluiting jeans-ku.
Lumayan cekatan Mbak Wenny melakukannya, sepertinya sudah terbiasa. Seterusnya aku sendiri yang melakukannya sampai aku sempurna telanjang bulat di depan Mbak Wenny.
“Ih, nakal,” kata Mbak Wenny sambil menyentil rudalku yang terayun-ayun akibat baru tegang separo.
“Sakit Mbak,” aku meringis.
“Biarin,” kata Mbak Wenny yang diteruskan dengan melepas blouse-nya kemudian kaos hitamnya, sehingga bagian atasnya tinggal BH warna hitam yang masih dipakainya.
Aku tak berkedip memandangi sepasang toket Mbak Wenny yang masih tertutup BH, dan Mbak Wenny tidak melanjutkan melepas pakainnya semua sambil tersenyum menggoda padaku.
Hawa nafsu benar-benar sudah tak bisa kutahan. Langsung kuraih dan naikkan BH-nya, sehingga sepasang toket-nya yang besar itu terlepas.
“Ih, pelan-pelan. Kalau BH-ku rusak, emangnya kamu mau ganti,” lagi-lagi hidungku jadi sasaran.
Tapi aku sudah tidak peduli. Sambil memeluknya mulutku langsung mengulum tokenya yang sebelah kanan.
Mbak Wenny tidak berhenti mendesah sambil tangannya mengusap-usap rambutku. Aku makin bersemangat saja, mulutku makin rajin menggarap toketnya sebelah kanan dan kiri bergantian.
Kukulum, kumainkan dengan lidah dan kadang kugigit kecil. Akibat seranganku yang makin intens itu Mbak Wenny mulai menjerit-jerit kecil di sela-sela desahannya.
Beberapa menit kulakukan aksi yang sangat dinikmati Mbak Wenny itu, sebelum akhirnya dia mendorong kepalaku agar terlepas dari toketnya. Mbak Wenny kemudian melepas BH, kulot dan CD-nya yang juga berwarna hitam. Sementara bibirnya nampak setengah terbuka sambil mendesi lirih dan matanya sudah mulai sayu, pertanda sudah horny berat.
Belum sempat mataku menikmati tubuhnya yang sudah telanjang bulat, tangan kananya sudah menggenggam rudalku. Kemudian Mbak Wenny berjalan mundur masuk kamar mandi sementara rudalku ditariknya. Aku meringis menahan rasa sakit, sekaligus pengin tertawa melihat kelakuan Mbak Wenny itu.
Mbak Wenny langsung menutup pintu kamar mandi setelah kami sampai di dalam, yang diteruskan dengan menghidupkan shower. Diteruskannya dengan menarik dan memelukku tepat di bawah siraman air dari shower. Dan …
“mmmmhhhh …. “ bibirnya sudah menyerbu bibirku dan melumatnya.
Kuimbangi dengan aksi serupa. Seterusnya, siraman air shower mengguyur kepala, bibir bertemu bibir, lidah saling mengait, tubuh bagian depan menempel ketat dan sesekali saling menggesek, kedua tangan mengusap-usap bagian belakang tubuh pasangan, “Aaaaaahhh,” nikmat luar biasa.
Tak ingat berapa lama kami melakukan aksi seperti itu, kami melanjutkannya dalam posisi duduk, tak ingat persis siapa yang mulai. Aku duduk bersandar pada dinding kamar mandi, kali ku luruskan, sementar Mbak Wenny duduk di atas pahaku, lututnya menyentuh lantai kamar mandi. Kemudian kurasakan Mbak Wenny melepaskan bibirnya dari bibirku, pelahan menyusur ke bawah.
Berhenti di leherku, lidahnya beraksi menjilati leherku, berpWenny-pWenny. Setelah itu, dilanjutkan ke bawah lagi, berhenti di dadaku. Sebelah kanan-kiri, tengah jadi sasaran lidah dan bibirnya.
Kemudian turun lagi ke bawah, ke perut, berhenti di pusar. Tangannya menggenggam rudalku, didorong sedikit ke samping dengan lembut, sementara lidahnya terus mempermainkan pusarku.
Puas di situ, turun lagi, dan bijiku sekarang yang jadi sasaran. Sementara lidahnya beraksi di sana, tangan kanannya mengusap-usap kepala rudalku dengan lembut. Aku sampai berkelojotan sambil mengerang-erang menikmati aksi Mbak Wenny yang seperti itu.
Pelahan-lahan bibirnya merayap naik menyusuri batang rudalku, dan berhenti di bagian kepala, sementara tangannya ganti menggenggam bagian batang. Kepala rudalku dikulumnya, dijilati, berpWenny dan berputar-putar, sehingga tak satu bagianpun yang terlewat. Beberapa saat kemudian, kutekan kepala Mbak Wenny ke bawah, sehingga bagian batanku pun masuk 2/3 ke mulutnya.
Digerakkannya kepalanya naik turun pelahan-lahan, berkali-kali. Kadang-kadang aksinya berhenti sejenak di bagian kepala, dijilati lagi, kemudian diteruskan naik turun lagi.
Pertahananku nyaris jebol, tapi aku belum mau terjadi saat itu. Kutahan kepalanya, kuangkat pelan, tapi Mbak Wenny seperti melawan. Hal itu terjadi beberapa kali, sampai akhirnya aku berhasil mengangkat kepalanya dan melepas rudalku dari mulutnya.
Kuangkat kepala Mbak Wenny, sementara matanya terpejam. Kudekatkan, dan kukulum lembut bibirnya. Pelan-pelan kurebahkan Mbak Wenny yang masih memejamkan mata sambil mendesis itu ke lantai kamar mandi. Kutindih sambil mulutku melahap kedua toketnya, sementara tanganku meremasnya bergantian.
Erangannya, desahannya, jeritan-jeritan kecilnya bersahut-sahutan di tengah gemericik siraman air shower. Kuturunkan lagi mulutku, berhenti di gundukan yang ditumbuhi bulu lebat, namun tercukur dan tertata rapi.
Beberapa kali kugigit pelan bulu-bulu itu, sehingga pemiliknya menggelinjang ke kanan kiri. Kemudian kupisahkan kedua pahanya yang putih,besar dan empuk itu. Kubuka lebar-lebar.
Kudaratkan bibirku di bibir memeknya, kukecup pelan. Kujulurkan lidahku, kutusuk-tusukan pelan ke daging menonjol di antar belahan memek Mbak Wenny.
Pantat Mbak Wenny mulai bergoyang-goyang pelahan, sementara tangannya menjambak atau lebih tepatnya meremas rambutku, karena jambakannya lembut dan tidak menyakitkan. Kumasukkan jari tengahku ku lubang memeknya, ku keluar masukkan dengan pelan.
Desisan Mbak Wenny makin panjang, dan sempat ku lirik matanya masih terpejam. Kupercepat gerakan jariku di dalam lubang memeknya, tapi tangannya langsung meraih tanganku yang sedang beraksi itu dan menahannya.
Kupelankan lagi, dan Mbak melepas tangannya dari tanganku. Setiap kupercepat lagi, tangan Mbak Wenny meraih tanganku lagi, sehingga akhirnya aku mengerti dia hanya mau jariku bergerak pelahan di dalam memeknya.
Beberapa menit kemudian, kurasakan Mbak Wenny mengangkat kepalaku menjauhkan dari memeknya. Mbak Wenny membuka mata dan memberi isyarat padaku agar duduk bersandar di dinding kamar mandi. Seterusnya merayap ke atasku, mengangkang tepat di depanku. Tangannya meraih rudalku, diarahkan dan dimasukkan ke dalam lubang memeknya.
“Oooooooooooohh ,” Mbak Wenny melenguh panjang dan matanya kembali terpejam saat rudalku masuk seluruhnya ke dalam memeknya.
Mbak Wenny mulai bergerak naik-turun pelahan sambil sesekali pinggulnya membuat gerakan memutar. Aku tidak sabar menghadapi aksi Mbak Wenny yang menurutku terlalu pelahan itu, mulai kusodok-sodokkan rudalku dari bawah dengan cukup cepat.
Mbak Wenny menghentikan gerakannya, tangannya menekan dadaku cukup kuat sambil kepala menggeleng, seperti melarangku melakukan aksi sodok itu.
Hal itu terjadi beberapa kali, yang sebenarnya membuatku agak kecewa, sampai akhirnya Mbak Wenny membuka matanya, tangannya mengusap kedua mataku seperti menyuruhkan memejamkan mata. Aku menurut dan memejamkan mataku.
Setelah beberapa saat aku memejamkan mata, aku mulai bisa memperhatikan dengan telingaku apa yang dari tadi tidak kuperhatikan, aku mulai bisa merasakan apa yang dari tadi tidak kurasakan.
Desahan dan erangan Mbak Wenny ternyata sangat teratur dan serasi dengan gerakan pantatnya, sehingga suara dari mulutnya, suara alat kelamin kami yang menyatu dan suara siraman air shower seperti sebuah harmoni yang begitu Wenny.
Dalam keterpejaman mata itu, aku seperti melayang-layang dan sekelilingku terasa begitu Wenny, seperti nama waNana yang sedang menyatu denganku.
Kenikmatan yang kurasakan pun terasa lain, bukan kenikmatan luar biasa yang menhentak-hentak, tapi kenikmatan yang sedikit-sedikit, seperti mengalir pelahan di seluruh syarafku, dan mengendap sampai ke ulu hatiku.
Beberapa menit kemudian gerakan Mbak Wenny berhenti pas saat rudalku amblas seluruhnya. Ada sekitar 5 detik dia diam saja dalam posisi seperti itu.
Kemudian kedua tangannya meraih kedua tanganku sambil melontarkan kepalanya ke belakang. Kubuka mataku, kupegang kuat-kuat kedua telapak tangannya dan kutahan agar Mbak Wenny tidak jatuh ke belakang. Setelah itu pantatnya membuat gerakan ke kanan-kiri dan terasa menekan-nekan rudal dan pantatku.
“Aaa .. aaaaaa … aaaaaaaaaaaaahhhhhhhhhhhhhh,” desahan dan jeritan kecil Mbak Wenny itu disertai kepala dan tubuhnya yang bergerak ke depan.
Mbak Wenny menjatuhkan diri padaku seperti menubruk, tangannya memeluk tubukku, sedang kepalanya bersandar di bahu kiriku. Ku balas memeluknya dan kubelai-belai Mbak Wenny yang baru saja menikmati orgasmenya. Sebuah cara orgasme yang eksotik dan artistik.
Setelah puas meresapi kenikmatan yang baru diraihnya, Mbak Wenny mengangkat kepala dan membuka matanya. Dia tersenyum yang diteruskan mencium bibirku dengan lembut. Belum sempat aku membalas ciumannya, Mbak Wenny sudah bangkit dan bergeser ke samping.
Segera kubimbing dia agar rebahan dan telentang di lantai kamar mandi. Mbak Wenny mengikuti kemauanku sambil terus menatapku dengan senyum yang tidak pernah lepas dari bibirnya. Kemudian kuarahkan rudalku yang rasanya seperti empot-empotkan ke lubang memeknya, kumasukkan seluruhnya. Setelah amblas semuanya Mbak Wenny memelekku sambil berbisik pelan.
“Jangan di dalam ya sayang, aku belum minum obat,” aku mengangguk pelan mengerti maksudnya. Setelah itu mulai kugoyang-goyang pantatku pelan-pelan sambil kupejamkan mata. Aku ingin merasakan kembali kenikmatan yang sedikit-sedikit tapi meresap sampai ke ulu hati seperti sebelumnya. Tapi aku gagal, meski beberapa lama mencoba. Akhirnya aku membuat gerakan seperti biasa, seperti yang biasa kulakukan pada tante Ani atau Nana. Bergerak maju mundur dari pelan dan makin lama makin cepat.
“Aaaah… Hoooohh,” aku hampir pada puncak, dan Mbak Wenny cukup cekatan. Didorongnya tubuhku sehingga rudalku terlepas dari memeknya. Rupanya dia tahu tidak mampu mengontrol diriku dan lupa pada pesannya. Seterusnya tangannya meraih rudalku sambil setengah bangun. Dikocok-kocoknya dengan gengaman yang cukup kuat, seterusnya aku bergeser ke depan sehingga rudalku tepat berada di atas perut Mbak Wenny.
“Aaaaaaaah … aaaaaaahhh … crottt… crotttt ..,” beberapa kali spermaku muncrat membasahi dada dan perut Mbak Wenny. Aku merebahku tubuhku yang terasa lemas di samping Mbak Wenny, sambil memandanginya yang asyik mengusap meratakan spermaku di tubuhnya.
“Hampir lupa ya?” lagi-lagi hidungku jadi sasarannya waktu Mbak Wenny mengucapkan kata-kata itu.
***
Selama di bus dalam perjalanan pulang aku memejamkan mata sambil mengingat-ingat pengalaman yang baru saja ku dapat dari Mbak Wenny. Saat di kamar mandi, dan saat mengulangi sekali lagi di kamarnya. Seorang waNana dengan gaya bersetubuh yang begitu lembut dan penuh perasaan.
“Kalau sekedar mengejar kepuasan nafsu, itu gampang. Tapi aku mau lebih. Aku mau kepuasan nafsuku selaras dengan kepuasan yang terasa di jiwaku.”
Kepuasan yang terasa di jiwa, itulah hal yang kudapat dari Mbak Wenny dan hanya dari Mbak Wenny, karena kelak setelah gonta-ganti pasangan, tetap saja belum pernah kudapatkan kenikmatan seperti yang kudapatkan dari Mbak Wenny. Kepuasan dan kenikmatan yang masih terasa dalam jangka waktu yang cukup lama meskipun persetubuhan berakhir.
“Ingat ya, jangan pernah sekali-kali kamu lakukan sama Rahma. Kalau sampai kamu lakukan, aku tidak akan pernah memaafkan kamu!” Aku terbangun, rupanya dalam tidurku aku bermimpi Mbak Wenny memperingatkanku tentang Rahma, adiknya. Dan bus pun sudah mulai masuk terminal.
Cerita Dewasa Terbaru, Cerita Dewasa, Cerita Seks Terbaru, Cerita Sex Terbaru, Cerita Seks, Cerita Sex, Cerita Hot, Cerita Dewasa 2017
Cerita Dewasa Terbaru Kakak Gebetanku Yang Liar
Reviewed by Ratu Judi Online
on
06.14
Rating:

Tidak ada komentar: